Berita tentang terbunuh-nya para tokoh gali itu sontak menjadi heboh dan menjadi bahan pembicaraan di semua wilayah DIY hingga ke pelosok-pelosok kampung. Meskipun merupakan pembunuhan misterius, hampir semua penduduk Yogyakarta saat itu paham bahwa pelaku atau eksekutornya adalah aparat militer dan sasarannya adalah para gali terkenal. Disebut sebagai gali terkenal karena tokoh di dunia kejahatan itu secara terang-terangan menguasai satu lokasi, memungut uang dari lokasi yang menjadi kekuasaannya, bisa seenak hati menganiaya orang yang dianggap melawan, merampok atau melakukan kejahatan lainnya secara terang-terangan, dan kadang-kadang polisi setempat tidak berani bertindak karena pengaruh si tokoh gali demilcian besar. Terbunuhnya para tokoh gali secara misterius sebenarnya membuat warga senang tapi para gali yang hanya memakai status itu sebagai ajang gagah-gagahan menjadi sangat ketakutan.
Aksi OPK melalui modus Petrus itu dengan cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi para pelaku kejahatan secara nasional karena korban OPK di kota-kota lainnya juga mulai berjatuhan. OPK yang berlangsung secara rahasia itu secara psikologis justru merupakan tindakan menekan angka kriminalitas yang dilaksanakan terang-terangan. Di tingkat nasional sendiri operasi rahasia untuk menumpas para bromocorah itu malah bisa dirunut secara jelas meskipun pelakunya tetap misterius. Pada tahun 1982 misalnya, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya saat itu, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar aksi perampokan yang meresahkan masyarakat. Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton Soedjarwo juga dinilai sukses dalam melancarkan aksi OPK.
Pada bulan Maret tahun yang sama pada acara khusus yang membahas masalah pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI, Presiden Soeharto bahkan meminta kepada Polri (masih menjadi bagian dari ABRI) untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam upaya menekan angka kriminalitas. Keseriusan Soeharto agar Polri/ ABRI menggencarkan operasi yang efektif untuk menekan angka kriminalitas bahkan kembali diulangi dalam pidato kenegaraan yang berlangsung pada 16 Agustus 1982. Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai beriatuhan.
Operasi di Yogyakarta
Salah satu modus untuk melumpuhkan penjahat yang dilaksanakan oleh tim OPK adalah menyuruh preman yang sudah ditangkap untuk lari dan kemudian baru ditembak. Preman yang lari kadang diteriaki sebagai maling sehingga menjadi sasaran amuk massa.
OPK di Semarang
Operasi Pemberantasan Kejahatan yang berlangsung di Semarang (1983) bisa menunjukkan bahwa para preman yang dahulu pernah diorganisir untuk kepentingan politik, seperti sebagai pendukung partai politik tertentu, ternyata tetap menjadi sasaran Petrus ketika dianggap sudah tak berguna. Sebagai salah satu contoh adalah tokoh preman bernama Bathi Mulyono. Di dunia hitam mantan preman yang pernah malang-melintang di Semarang ini sudah sangat terkenal sehinga saat keluar dari penjara, Bathi langsung menduduki jabatan ketua Yayasan Fajar Menyingsing. Organisasi massa itu menghimpun ribuan residivis dan pemuda yang berada di kawasan Jawa Tengah. Yayasan Fajar Menyingsing secara politik cukup berpengaruh dan di-beking oleh para petinggi Jawa Tengah waktu itu seperti Gubernur Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjoyo. Berkat restu para elite penguasa daerah itu Bathi bisa menjalankan bisnisnya secara lancar mulai dari jasa broker keamanan hingga menguasai lahan parkir di wilayah Jawa Tengah. Walau mantan bromocorah, Bathi bisa hidup makmur dan sehari-hari mengendarai mobil jeep Toyota Hardtop.
Modus untuk melumpuhkan tokoh gali kadang kerap dilaksanakan ditempat seperti eksekusi saat si "gali" sedang nongkrong di warung. Eksekusi semacam itu hanya bisa dilakukan oleh penembak terlatih dan berpengalaman.
Selama dalam pelariannya Bathi bahkan mengalami kejadian konyol yang berkaitan erat dengan OPK. Suatu kali Bathi menyetop kendaraan pick up terbuka dan kemudian duduk di antara sejumlah karung yang tergeletak di lantai bak mobil. Sejumlah orang tampak duduk di belakang dan dalam kondisi diam. Secara tak sengaja Bathi sempat menduduki salah satu karung dan kemudian kaget setengah mati karena mendengar suara mengaduh dari dalam karung itu. Bathi mulai berpikir tentang suara mengaduh dari dalam karung dan yakin bahwa mobil pick up sedang membawa korban yang menjadi target OPK. Bathi merasa mujur karena orangorang yang berada di dalam pick up tak mengenali dirinya. Sebelum jati dirinya terungkap, Bathi minta turun dan kemudian menghilang ke dalam hutan sambil sesekali melihat pergerakan mobil pick up tersebut. Tak lama kemudian Bathi mendengar serentetan ternbakan dan yakin para eksekutor tengah menghabisi korbannya.
Jakarta dan kola lainnya
Korban OPK di kota Jakarta tak kalah banyak karena mayatmayat korban pembunuhan yang ditemukan di berbagai tempat terus saja menjadi berita suratsurat kabar dan buah bibir warga Ibukota. Mayat yang tewas dalam kondisi kepala atau dada ditembus peluru itu memiliki tanda khusus berupa sejumlah tato di tubuhnya. Ciri khas mayat yang ditemukan di Jakarta adalah mengambang di dalam karung yang hanyut di sungai dan saat dibuka korbannya pasti terikat tangannya serta memiliki tato di tubuhnya. Penemuan mayatmayat korban OPK juga terjadi di kota-kota besar lainnya dan fakta ini menunjukkan bahwa OPK memang dilancarkan secara nasional. Dilihat dari para korban OPK yang ata, bisa dikatakan Operasi Celurit untuk menumpas angka kejahatan cukup berhasil.
Dari segi jumlah, Operasi Celurit yang notabene merupakan aksi Petrus itu, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban OPK yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban OPK tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hut, hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai OPK yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.
Kendati sejumlah petingi negara telah melontarkan pendapatnya, toh Petrus yang beraksi secara rahasia itu tetap tidak tersibak misterinya.
Ketika pada 3 Mei 1983 di Jalan Sunan Kalijaga, Kebayoran Baru, Jakarta, terdengar letusan pistol pertama disusul tumbangnya dua penjahat Sulisno (23) dan Baginda Siregar (26) lalu disusul tewasnya Solichin di daerah Ciputat akibat tembakan orang tak dikenal, berita yang esoknya terpapar di surat kabar belum begitu mengejutkan massa. Tapi ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap” komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum. “Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.”
Tindakan tegas OPK pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra. Pendapat yang pro, OPK pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran OPK hanya penjahatkelas ten atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya.
Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”. (win)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar